Cari Blog Ini

Senin, 27 September 2010

IMPLEMENTASI MULTIPLE INTELLIGENCES DI SEKOLAH

Pendahuluan

Setiap benda dan makhluk di dunia ini diberikan  potensi dan kemanfaatan yang berbeda-beda oleh Tuhan. Tidak ada sesuatu bendapun yang diciptakan sia-sia oleh Tuhan di dunia ini. Mungkin dulu kita berpikir untuk apa diciptakan kotoran burung, itu hanya akan mengotori dunia saja. Selain tidak enak dipandang, kotoran burung juga menimbulkan bau tidak sedap. Namun sejalan dengan perkembangan penalaran manusia, ternyata kotoran burung banyak sekali manfaatnya. Kotoran burung selain dapat menyuburkan tanaman, ternyata banyak potensi lainnya yang bermanfaat dalam kehidupan. Kotoran burung dapat menjadi media penyebaran tanaman biji-bijian di berbagai penjuru dunia ini. Bahkan kini kotoran burung juga bisa dimanfaatkan untuk masker kecantikan seperti yang sudah lama di kembangkan di negeri Cina.

Menyadari kebesaran Tuhan dari semua ciptaannya tersebut, bagi orang yang bisa berfikir tentu akan segera bisa belajar tentang berbagai hal lain yang lebih besar dan lebih jelas dari sekedar kotoran burung. Dalam kaitannya dengan potensi manusia, tentu kita juga segera bisa menyadari bahwa manusia juga diciptakan dengan segala potensinya. Ada yang berpotensi menjadi ilmuwan, ada juga yang berpotensi menjadi olahragawan. Sebagian yang lain berbakat menjadi musikus, yang lain berbakat jadi politikus, atau ada yang lebih senang matematika sementara ada lebih cocok dengan agama dan sebagainya.

Thomas Amstrong[1] menggambarkan potensi manusia yang beranekaragam tersebut dalam sebuah dongeng yang berjudul In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child’s Multiple Intelligences (1987).  Diceritakan dalam buku tersebut bahwa dunia digemparkan oleh sebuah kabar bahwa para binatang akan membuat sebuah sekolah unggulan bagi para binatang yang akan memberikan pelajaran berbagai keterampilan yang dimiliki oleh semua binatang. Maka dibuatlah kurikulum yang memuat berbagai kecakapan hidup binatang seperti: terbang, lari, berenang, loncat, memanjat dan menggali.


Sekolahpun dibuka dan menerima murid dari berbagai belahan hutan. Hampir semua perwakilan spesies binatang datang untuk menjadi siswa di sekolah unggulan tersebut, mulai dari burung, kelinci, ikan, kanguru, monyet, kepiting dan sebagainya.  Pada awalnya dikabarkan bahwa program sekolah berjalan lancer. Hingga semua murid merasakan nuansa baru yang bisa membuat mereka ceria. Hingga tibalah pada suatu hari yang mengubah keadaan sekolah tersebut.

Tersebutlah salah satu murid yang bernama kelinci. Jelas kelinci adalah binatang yang pandai untuk berlari. Ketika mengikuti pelajaran berenang. Kelinci ini hampir tenggelam. Pengalaman mengikuti kelas berenang membuat Kelinci prihatin. Lantaran sibuk mengurusi pelajaran renang, si kelinci ini pun tak pernah lagi dapat berlari secepat sebelumnya.

Setelah kasus kelinci, ada kejadian lain yang cukup membuat Kepala Sekolah Pusing. Ini melanda siswa lain yang bernama burung.  Burung jelas binatang yang sangat hebat untuk terbang. Namun ketika mengikuti pelajaran memanjat, si burung tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik di sekolah. Akhirnya ia pun mengikuti les memanjat untuk mengejar ketinggalan pelajaran dengan siswa lainnya. Les itu ternyata menyita waktunya sehingga ia pun melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasainya.

Demikian kesulitan demi kesulitan juga dialami oleh siswa lainnya seperti ikan, kanguru, monyet, kepiting dan lainnya. Para binatang itupun tidak lagi punya kesempatan untuk berprestasi dalam bidang keahliannya masing-masing. Itu semua dikarenakan mereka dipaksanakan untuk melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat alami mereka.

Berdasarkan dongeng itu Amstrong mengajak kita semua untuk bisa memehami lebih baik tentang potensi yang dimiliki oleh setiap anak. Berpijak dari temua Howard Gardner[2] tentang Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk),  Amstrong mengajak kita semua untuk tidak lagi memisahkan atau menjuluki bahwa ada siswa bodoh dan ada siswa pandai di sisi lain. Sebagaimana diketahui dalam buku Thomas Amstrong yang berjudul “Multiple Intelligences in Classroom” dijelaskan bahwa manusia memiliki 9 kecerdasan dasar yang meliputi: 1) Kecerdasan Linguistik, 2) Kecerdasan Matematis-logis, 3) kecerdasan Spasial, 4) Kecerdasan Kinestetis-jasmani, 5) kecerdasan Musikal, 6) kecerdasan Interpersonal, 7) Kecerdasan Intra Personal, 8) kecerdasan Naturalis, dan 9) kecerdasan Eksistensional. Setiap anak pasti memiliki 9 kecerdasan tersebut namun dengan takaran yang berbeda-beda.

Sekarang dengan penemuan baru tentang multiple intelligences dari Gardner tersebut kita bisa berteriak lantang bahwa TIDAK ADA MURID YANG BODOH! Setiap murid, hampir dipastikan   memiliki satu atau dua jenis kecerdasan yang sangat menonjol. Dengan demikian setiap guru akan memandang para muridnya sebagai manusia-manusia yang memiliki potensi untuk berprestasi.

Apa itu MULTIPLE INTELLIGENCES ?

Teori kecerdasan majemuk dari Gardner sebenarnya bukanlah model pertama yang membahas tentang kecerdasan. Sejak zaman dulu berbagai teori kecerdasan telah ada mulai dari kecerdasan tunggal (“g” dari Spearmen) sampai 150 jenis kecerdasan dari Guilford.

Sebenarnya teori tentang gaya belajar juga merupakan embrio tentang konsep kecerdasan majemuk. Hanya saja dalam teori gaya belajar masih sebatas pada penggunaan indera dalam cara belajar manusia. Ada yang dengan mudah bisa belajar dengan cara melihat (visual), ada yang cepat paham dengan hanya mendengar (audio), ada yang harus ikut bergerak (Kinestetis) atau harus dengan ketiganya.

Namun sejak lama kalau dengar kata kecerdasan kita masih berkonotasi segala sesuatu yang berkaitan dengan IQ. Sebagaimana juga dilakukan oleh para ahli pendidikan sampai abad 19. Bahkan pada tahun 1904 Menteri pendidikan Perancis meminta psykolog Perancis, Alfred Binet dan timnya untuk mengembangkan suatu alat untuk menentukan siswa SD mana yang “beresiko” mengalami kegagalan, agar mereka dapat diberi perhatian khusus. Hasil kerja Alfred dan timnya menghasilkan tes kecerdasan yang pertama. Kemudian tes tersebut berkembang luas di seluruh penjuru dunia. Akhirnya masyarakat beranggapan bahwa “kecerdasan” itu dapat diukur secara obyektif dan dapat dinyatakan dalam satu angka atau nilai IQ.

Hampir 80 tahun setelah dikembangkannya tes kecerdasan tersebut pada tahun 1983 Howard Gardner mempermasalahkan pengertian kecerdasan yang sudah banyak diyakini oleh masyarakat dunia tersebut. Dia mengatakan bahwa penafsiran kecerdasan yang demikian adalah terlalu sempit. Sebagai argumentasinya dalam bukunya yang berjudul “Frime of Mind” Gardner mengemukakan sekurang-kurangnya ada 7 kecerdasan dasar yang dimiliki oleh manusia. Namun pada tahun 1999 Gardner menambahkan lagi 2 teori kecerdasan sehingga menjadi 9 kecerdasan dasar.   Dengan kecerdasan majemuk (Multiple Intelligences) Gardner pada IQ saja sangat menafikan keberadaan manusia sendiri sebagai makhluk yang unik dengan bakat yang berbeda-beda. Gardner berusaha menjelaskan bahwa kecerdasan tidak hanya terbatas bagaimana orang bisa menjawab soal-soal tes IQ namun lebih dari itu, kecerdasan adalah lebih berkaitan dengan kapasitas dalam memecahkan masalah dan menciptakan produk di lingkungan yang kondusif dan alamiah.

Sembilan Kecerdasan Dasar

Kecerdasan manusia, saat ini tak hanya dapat diukur dari kepandaiannya menguasai matematika atau menggunakan bahasa. Ada banyak kecerdasan yang dapat diidentifikasi di dalam diri manusia. Coba sekarang kita bagaimana menentukan siapa yang cerdas dalam pertanyaan berikut : “Siapa yang paling cerdas di lapangan sepakbola, apakah David Beckham atau Albert Einstein?” Juga, “Siapa yang cerdas di panggung musik, apakah Krisdayanti atau Susi Susanti?”. Mereka cerdas di bidangnya masing-masing. Kita tak bisa menggunakan satu parameter saja misalnya IQ untuk membandingkan kecerdasan mereka.

Menurut Gardner kecerdasan dapat dipetakan menjadi sembilan kecerdasan dasar yang komprehensip. Kesembilan kecerdasan dasar itu meliputi:

1. Kecerdasan linguistic.

Kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif baik secara lisan (misalnya: pendongeng, orator, wartawan, editor atau politisi), maupun  tertulis (misalnya: satrawan, penulis drama, editor, wartawan). Kecerdasan ini meliputi kemampuan memanipulasi tata bahasa atau struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantic atau makna bahasa, dimensi pragmatic atau penggunaan praktis bahasa. Penggunaan bahasa ini antara lain mencakup retorika (penggunaan bahasa untuk mempengaruhi orang lain melakukan tindakan tertentu), mnemonic/ hafalan (penggunaan bahasa untuk mengingat informasi), eksplanasi (kemampuan bahasa untuk member informasi), dan metabahasa (penggunaan bahasa untuk membahas bahasa itu sendiri).

Berkaitan dengan pelajaran bahasa. William Shakespeare, Martin Luther King Ir. Soekarno, Putu Wijaya, Taufiq Ismail, Hilman “Lupus” Hariwijaya merupakan tokoh yang berhasil menunjukkan kecerdasan ini hingga puncak, demikian pula para jurnalis hebat, ahli bahasa, sastrawan, orator pasti memiliki kecerdasan ini.

2. Kecerdasan Matematis-Logis.

Kemampuan menggunakan angka dengan baik (misalnya, ahli matematika, akuntan pajak, ahli statistic) dan melakukan penalaran yang benar (misalnya, sebagai ilmuwan, pemrogram computer, atau ahli logika). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada pola dan hubungan logis, pernyataan dan dalil (jika-maka, sebab-akibat), fungsi logis dan abstraksi-abstraksi lain: kategorisasi, klasifikasi, pengambilan kesimpulan, generalisasi, penghitungan, dan pengujian hipotesis.

Berkaitan dengan pelajaran matematika. Tokoh2 yang terkenal antara lain Madame Currie, Blaise Pascal, B.J. Habibie.

3. Kecerdasan Spasial

Kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat (misalnya, sebagai pemburu, pramuka, pemandu) dan mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut (misalnya, decorator, arsitek, seniman, atau penemu). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada warna, garis, bentuk, ruang, dan hubungan antar unsure tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan membayangkan, mempresentasikan ide secara visual atau spasial, dan mengorientasikan diri secara tepat dalam matriks spasial.

Berhubungan dengan pelajaran menggambar. Tokoh yang dapat diceritakan berkaitan dengan kecerdasan ini, misalnya Picasso, Walt Disney, Garin Nugroho.

4. Kecerdasan Kinestetis-Jasmani

Keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan (misalnya sebagai actor, pemain pantomime, atlet, atau penari) dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu (misalnya perajin, pematung, ahli mekanik, dokter bedah dsb). Kecerdasan ini meliputi  kemampuan-kemampuan fisik yang spesifik, seperti koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, dan kecepatan maupun kemampuan menerima rangsangan  (proprioceptive) dan hal yang berkaitan dengan sentuhan (tactile & haptic).

Sebut saja Michael Jordan, Martha Graham (penari balet), Susi Susanti. Kecerdasan ini berkaitan dengan pejaran olahraga atau kegiatan ekstrakurikuler seperti menari, bermain teater, pantomim.

5. Kecerdasan Musikal

Kemampuan menangani bentuk-bentuk musical, dengan cara mempersepsi (misalnya, sebagai penikmat music), membedakan (misalnya, sebagai kritikus music), menggubah (seperti composer), dan mengekspresikan (misalnya penyanyi). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada irama, pola titinada atau melodi, dan warna nada atau warna suara suatu lagu. Orang dapat memiliki pemahaman music figural atau atas-bawah (global, intuitif), pemahaman formal atau “bawah-atas” (analitis, teknis), atau keduanya.

Bentuk kecerdasan ini mendengarkan pola musik dan ritmik secara natural dan kemudian dapat memproduksinya. Bentuk kecerdasan ini sangat menyenangkan, karena musik memiliki kapasitas unutk mengubah kesadaran kita, menghilangkan stress dan meningkatkan fungsi otak. Berkaitan dengan kegiatan ekstrakurikuler. Tokoh2 yang sudah mengembangkan kecerdasan ini misalnya Stevie Wonder, Melly Goeslow, Titik Puspa.

6. Kecerdasan interpersonal

Kemampuan mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain. Kecerdasan ini biasanya digunakan untuk mempengaruhi sekelompok orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sesuai yang diinginkannya. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada ekspresi wajah, suara, gerak isyarat; kemampuan membedakan berbagai macam tanda interpersonal; dan kemampuan menaggapi secara efektif tanda tersebut dengan tindakan pragmatis tertentu (misalnya, mempengaruhi sekelompok orang untuk melakukan tindakan tertentu.

Bentuk kecerdasan ini wajib bagi tugas2 ditempat kerja seperti negosiasi dan menyediakan umpan balik atau evaluasi. Berkaitan dengan pelajaran PPKn, sosiologi. Manajer, konselor, terapis, politikus, mediator menunjukkan bentuk kecerdasan ini. Mereka biasanya pintar membaca suasana hati, temperamen, motivasi dan maksud orang lain. Abraham Lincoln dan Mahatma Gadhi memanfaatkan kecerdasan ini untuk mengubah dunia.

7. Kecerdasan intrapersonal

Kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri yang akurat (kekuatan dan keterbatasan diri); kesadaran akan suasana hati, maksud, motivasi, temperamen, dan keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, memahami  dan dan menghargai diri.

8. Kecerdasan Naturalis.

Kemampuan mengenali dan mengkategorikan spesies-flora dan fauna-di lingkungan sekitar.  Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada fenomena alam lainnya (misalnya frmasi awan dan gunung-gunung) dan bagi mereka yang dibesarkan di lingkungan perkotaan, kemampuan membedakan benda hidup, seperti mobil, sepatu karet, dan sampul kaset CD.

Bentuk kecerdasan ini merupakan kemampuan untuk memahami dan mengartikulasikan cara kerja terdalam dari karakter dan kepribadian. Kita sering menamai kecerdasan ini dengan kebijaksanaan. Berkaitan dengan jurusan psikologi atau filsafat. Tokoh2 sukses yang dapat dikenalkan untuk memperkaya kecerdasan ini adalah para pemimpin keagamaan dan para psikolog.

9. Kecerdasan Eksistensial

Kecerdasan ini meliputi kemampuan dalam menempatkan diri dalam hubungannya dengan jangkauan kosmos yang terjauh – yang tidak terhingga besarnya serta tidak terhingga kecilnya – dan kemampuan lain yang terkait, yakni menempatkan diri dalam hubungan dengan berbagai aspek eksistensial manusia, misalnya makna hidup, arti kematian, nasib dunia fisik dan psikologis, serta pengalaman mendalam seperti cinta pada sesame atau keterlibatan total dalam karya seni.

Hal-hal Penting dalam Multiple Intelligences

Jika kita perhatikan tentang kondisi setiap orang yang memiliki potensi yang beragam, maka mungkin kita berpikir seberapa besar kapasitas  kita tentang Sembilan kecerdasan tersebut. Mungkinkan memiliki semuanya ataukan hanya beberapa seja. Berikut hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam memahami Multiple Intelligences:

1. Setiap orang memiliki kesembilan kecerdasan.

Teori multiple Intelligences bukan untuk menentukan satu kecerdasan yang paling sesuai untuk dimiliki oleh seseorang. Teori ini adalah teori fungsi kognitif, yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas dalam kesembilan kecerdasan tersebut. Tentu saja kesembilan kecerdasan tersebut berfungsi secara bersamaan dengan cara yang berbeda-beda pada diri setiap orang. Beberapa orang memiliki tingkatan yang sangat tinggi pada semua atau hampir semua kecerdasan – misalnya Sukarno selain sebagai teknisi (ilmuwan) dia juga sebagai seorang negarawan, budayawan dan penulis yang amat baik. Sebagian yang lain, seperti yang ada di SLB-keterbelakangan mental, tampaknya memiliki kekurangan dalam semua aspek kecerdasan, kecuali aspek kecerdasan yang paling mendasar. Secara umum kita berada dalam 2 kutub tersebut – sangat berkembang dalam sejumlah kecerdasan, cukup berkembang dalam kecerdasan tertentu, dan relative agak terbelakang dalam kecerdasan yang lain.

2. Orang pada umumnya dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadahi.

Walapun semua orang mempunyai kekurangan dalam kecerdasan tertentu, namun diyakini bahwa sebenarnya setiap orang dapat mengembangkan kesembilan kecerdasan tersebut agar lebih optimal. Walapun optimalitas masing-masing kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu juga akan berbeda-beda. Hal tersebut akan sangat dipengaruhi oleh dukungan dan fasilitas, pengayaan, dan pengajaran. Ada banyak contoh bahwa anak yang dilahirkan di keluarga seniman seperti keluarga Afandi akan melahirkan anak-anak yang pandai melukis. Namun demikian mungkin kepiawaian mereka dalam melukis tidaklah sehebat ayahnya. Begitu juga anak-anak yang terlahir dalam keluarga yang mempunyai dukungan dan pembelajaran yang lain.

3. Kecerdasan-kecerdasan pada umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang kompleks.

Semua kecerdasan yang telah dipaparkan di atas sebenarnya tidak dipisahkan satu sama lainnya. Kesembilan kecerdasan tersebut tidaklah bekerja secara sendiri-sendiri. Untuk memasak misalnya orang harus membaca resep (linguistic), mungkin perlu membaginya menjadi setengah resep (matematika-logis), membuat menu yang dapat memuaskan semua anggota keluarga (interpersonal), dan juga memenuhi selera sendiri (intrapersonal). Demikian pula ketika anak sedang bermain sepak bola, ia membutuhkan kecerdasan kinestetik-jasmani (berlari-menendang-atau menangkap bola), kecerdasan spasial (mengorientasikan diri di lapangan dan mengantisipasi bola yang melayang), dan kecerdasan linguistic dan interpersonal (bisa memberikan argument yang benar ketika protes dengan wasit).

4. Ada banyak cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori.

Tidak ada standar baku yang harus dimiliki seseorang untuk bisa disebut cerdas. Mungkin saja seseorang tidak bisa membaca, namun memiliki kecerdasan linguistic yang tinggi karena dia bisa menyampaikan informasi yang memukau atau memiliki kosa kata lisan yang amat luas sebagaimana dimiliki oleh Nabi Muhammad. Demikian pula mungkin seseorang tampak kaku ketika harus tampil di lapangan basket, namun memiliki kecerdasan kinestetik-jasmani yang tinggi saat harus menari. Teori Multiple Intelligences menekankan pada keanekaragaman seseorang dalam mencapai tingkat tertinggi untuk dapat disebut cerdas.

Bagaimana mengoptimalkan Sembilan Multiple Intelligences

Sebagaimana telah kita bahas dalam point 2 di atas bahwa pada umumnya orang dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadahi. Kesembilan kecerdasan yang kita miliki bisa dikembangkan secara optimal, namun tergantung beberapa hal:

  1. Faktor biologis, termasuk di dalamnya factor keturunan dan luka atau cedera otak sebelum, selama, dan setelah kelahiran.

  2. Sejarah hidup pribadi, termasuk di dalamnya pengalaman-pengalaman dengan orang tua, guru teman sebaya, kawan-kawan dan orang lain baik yang membangkitkan atau yang menghambat perkembangan kecerdasan.

  3. Latar belakang cultural dan historis, termasuk waktu dan tempat dilahirkan dan dibesarkan serta sifat dan kondisi perkembangan historis atau cultural di tempat-tempat lain.

Untuk menyiapkan anak-anak kita menjadi generasi yang cerdas dan berprestasi ada baiknya dilakukan beberapa hal sebagai berikut:

1. Identifikasi sejak awal posisi dan kualitas kecerdasan anak.

Tidak ada satu tes-canggih di masyarakat yang dapat menghasilkan survey komprehensip mengenai kecerdasan majemuk anak. Salah satu cara yang terbaik untuk mengenali kecerdasan majemuk yang dimiliki anak adalah dengan mengamati “kenakalan” mereka di dalam kelas. Anak yang memiliki kecerdasan linguistic tinggi akan sering menyela pembicaraan, anak yang memiliki kecerdasan spasial tinggi akan suka mencoret-coret dan melamun, anak yang memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi akan suka mengobrol, dan anak yang memiliki kecerdasan kinestetik-jasmani tidak suka diam, dan mungkin anak yang memiliki kecerdasan yang tinggi dalam natural, mungkin akan membawa binatang ke dalam kelas tanpa izin.

Selain dengan mengamati kenakalannya, cara yang mungkin bisa digunakan adalah dengan cara mengamati bagaimana mereka menghabiskan waktu luangnya. Dengan kata lain, apa yang akan mereka lakukan jika tidak ada kegiatan yang ditentukan oleh guru. Mungkin anak-anak yang memiliki kecerdasan linguistic lebih memilih kegiatan di perpustakaan untuk membaca buku-buku, bagi mereka yang memiliki kecerdasan interpersonal lebih senang untuk bermain secara bersama dan ngerumpi, bagi yang memiliki kecerdasan spasial tinggi mungkin akan lebih memilih untuk menggambar dan sebagainya.

Setiap kecenderungan yang dilakukan anak pada dua hal di atas perlu dicatat untuk menemukan kecerdasan mana yang lebih dan kecerdasan mana yang kurang dari setiap anak.

2. Ajarkan berbagai kecerdasan yang memungkinkan anak bisa tumbuh optimal semua kecerdasannya. Dengan demikian kecerdasan atau bakat yang tersembunyi bisa tergali dan bisa digarap lebih optimal.

Bagi anak yang sudah memiliki beberapa kecerdasan tertentu yang tinggi perlu lebih dioptimalkan dengan cara terus mengasah dan melatihkan kecerdasan-kecerdasan tersebut agar semakin piawai dan berprestasi di bidangnya. Sementara beberapa kecerdasan yang lain tetap harus dikembangkan tanpa harus mematikan kecerdasan atau terforsir kecerdasan yang telah mereka miliki sebelumnya.

3. Sediakan fasilitas yang mendukung

Sebagaimana telah dikatan di atas bahwa hampir semua kecerdasan bisa berkembang secara optimal jika dilakukan latihan. Oleh karena itu factor dukungan dan fasilitas akan sangat menentukan. Anak yang sangat baik kecerdasan linguistiknya mungkin akan menjadi tumpul manakala tidak ada tersedia sarana yang cukup untuk membaca, bercerita ataupun menyampiakan pesan-pesan kepada orang lain. Demikian pula mungkin anak yang sebenarnya tidak begitu tinggi kecerdasan linguistiknya, namun karena tersedia dukungan fasilitas seperti buku-buku, sering diajak untuk diskusi, wawancara bercerita dengan baik, sangat mungkin mereka akan tumbuh optimal kecerdasan linguistiknya. Walapun mungkin tidak secepat jika dibandingkan dengan anak yang memang sejak awalny memiliki kecerdasan linguistic.

Berdasarkan uraian di atas, sekarang saya ingin meneriakkan bahwa “DI KELAS KITA TIDAK ADA SISWA YANG BODOH, YANG ADA ADALAH PARA CALON JUARA DI BIDANGNYA MASING-MASING”

REFERENSI

Armstrong, T. 2000. Multiple Intelligences In Classroom-2nd Edition. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).

Armstrong, T. 2003. Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences di Dunia Pendidikan. Edisi Terjemahan Oleh Yudhi Murtanto. Bandung: Kaifa

Gardner, H. 1983. Frames of Mine: The Theory Multiple Intelligencs. New York: Basic Books.

Hernawan, Asep Herry. 2004. Media dan Proses Pembelajaran. Cetakan Keempat belas Jakarta: Universitas Terbuka.

Putrianti, Nurita. 2007. Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence).  http://nuritaputranti.wordpress.com/2007/11/27/kecerdasan-majemuk-multiple-intelligences/

1 komentar:

hasan mawardi mengatakan...

Salam kenal dari Saya hasan mawardi dari SMP LIK Sukabumi.
Tulisan tersebut telah berhasil menambah keyakinan saya akan pentingnya penerapan MI di sekolah.
saya mau izin mengutif cerita sekolahan burung tadi di blog dan webset saya.

syukron