Pendahuluan
Setiap benda dan makhluk di dunia ini diberikan potensi dan kemanfaatan yang berbeda-beda oleh Tuhan. Tidak ada sesuatu bendapun yang diciptakan sia-sia oleh Tuhan di dunia ini. Mungkin dulu kita berpikir untuk apa diciptakan kotoran burung, itu hanya akan mengotori dunia saja. Selain tidak enak dipandang, kotoran burung juga menimbulkan bau tidak sedap. Namun sejalan dengan perkembangan penalaran manusia, ternyata kotoran burung banyak sekali manfaatnya. Kotoran burung selain dapat menyuburkan tanaman, ternyata banyak potensi lainnya yang bermanfaat dalam kehidupan. Kotoran burung dapat menjadi media penyebaran tanaman biji-bijian di berbagai penjuru dunia ini. Bahkan kini kotoran burung juga bisa dimanfaatkan untuk masker kecantikan seperti yang sudah lama di kembangkan di negeri Cina.
Menyadari kebesaran Tuhan dari semua ciptaannya tersebut, bagi orang yang bisa berfikir tentu akan segera bisa belajar tentang berbagai hal lain yang lebih besar dan lebih jelas dari sekedar kotoran burung. Dalam kaitannya dengan potensi manusia, tentu kita juga segera bisa menyadari bahwa manusia juga diciptakan dengan segala potensinya. Ada yang berpotensi menjadi ilmuwan, ada juga yang berpotensi menjadi olahragawan. Sebagian yang lain berbakat menjadi musikus, yang lain berbakat jadi politikus, atau ada yang lebih senang matematika sementara ada lebih cocok dengan agama dan sebagainya.
Thomas Amstrong[1] menggambarkan potensi manusia yang beranekaragam tersebut dalam sebuah dongeng yang berjudul In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child’s Multiple Intelligences (1987). Diceritakan dalam buku tersebut bahwa dunia digemparkan oleh sebuah kabar bahwa para binatang akan membuat sebuah sekolah unggulan bagi para binatang yang akan memberikan pelajaran berbagai keterampilan yang dimiliki oleh semua binatang. Maka dibuatlah kurikulum yang memuat berbagai kecakapan hidup binatang seperti: terbang, lari, berenang, loncat, memanjat dan menggali.
Cari Blog Ini
Senin, 27 September 2010
Senin, 20 September 2010
Aktualisasi Pembelajaran karakter di sekolah
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Pengalaman Indonesia
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.
Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.
Berdasarkan fenomena tersebut maka di Indonesia akhir-akhir ini sedang in digalakkan pendidikan karakter. walapun sampai saat ini juga belum menemukan bentuk yang jelas untuk bisa diaktualisasikan dalam pembelajaran di sekolah.
Aktualisasi Pendidikan karekter di Sekolah
Para ahli pendidikan masih memperdepatkan bentuk aktualisasi pedidikan karakter untuk dimasukkan dalam proses pembelajaran sekolah. perdebatan masih dilakukan sekitar:
Dalam nuansa perdebatan tentang bentuk pembelajaran di sekolah, dalam kesempatan ini saya ingin berbagai pengalaman dengan pembeca semua, bahwa sekolah kami juga sudah menerapkan pendidikan karakter.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Pengalaman Indonesia
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.
Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.
Berdasarkan fenomena tersebut maka di Indonesia akhir-akhir ini sedang in digalakkan pendidikan karakter. walapun sampai saat ini juga belum menemukan bentuk yang jelas untuk bisa diaktualisasikan dalam pembelajaran di sekolah.
Aktualisasi Pendidikan karekter di Sekolah
Para ahli pendidikan masih memperdepatkan bentuk aktualisasi pedidikan karakter untuk dimasukkan dalam proses pembelajaran sekolah. perdebatan masih dilakukan sekitar:
- Apakah pendidikan karakter menjadi mata pelajaran sendiri atau masuk dalam mata pelajaran yang sudah ada.
- Apakah pendidikan karakter perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah?
- Apakah pendidikan karakter
Dalam nuansa perdebatan tentang bentuk pembelajaran di sekolah, dalam kesempatan ini saya ingin berbagai pengalaman dengan pembeca semua, bahwa sekolah kami juga sudah menerapkan pendidikan karakter.
Label:
Artikel,
Berita,
Program Pelatihan,
Strategi Pembelajaran
Kamis, 02 September 2010
Paket Pelatihan Ice Breaking untuk Guru
Ice breaking atau penecah kebekuan suasanan sangatlah penting bagi seorang guru yang selalu mengharapkan perhatian penuh dari para siswanya selama ia mengajar. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata setiap orang untuk dapat berkonsentrasi pada satu focus tertentu hanyalah sekitar 15 menit. Setelah itu konsentrasi seseorang sudah tidak lagi dapat focus.
Guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran dituntut untuk selalu bisa menciptakan suasana yang menyenangkan sekaligus mengaktifkan. Namun kebanyakan para guru saat ini sangat miskin akan kreasi menciptakan berbagai model ice breaking. sehingga kondisi kelas lebih banyak menegangkan, sehingga siswa selalu berteriak gembira jika mendengar bel istirahat atau pulang. Mereka merasa terkungkung oleh kondisi yang serius secara terus-menerus. Dalam kondisi yang demikian anak cepat merasa capai dan bosan.
Ada banyak macam energizer atau ice breaking yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Namun demikian, jenis ice breaking harus dipilih agar tetap memberikan makna edikatif bagi anak. Berikut materi pelatihan ice breaking untuk para guru, paling tidak dapat dikelompokkan menjadi 8 jenis.
Untuk mengenal lebih jauh tentang pelatihan energizer atau ice breaking ini pembaca dapat menghubungi penulis di sunartombs@gmail.com ataudapatkan bukunya di http://sunartombs.wordpress.com/2012/04/16/buku-icebreaker-dalam-pembelajaran-aktif/. Anda bisa juga memesan lewat sms di 081327030274
Guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran dituntut untuk selalu bisa menciptakan suasana yang menyenangkan sekaligus mengaktifkan. Namun kebanyakan para guru saat ini sangat miskin akan kreasi menciptakan berbagai model ice breaking. sehingga kondisi kelas lebih banyak menegangkan, sehingga siswa selalu berteriak gembira jika mendengar bel istirahat atau pulang. Mereka merasa terkungkung oleh kondisi yang serius secara terus-menerus. Dalam kondisi yang demikian anak cepat merasa capai dan bosan.
Ada banyak macam energizer atau ice breaking yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Namun demikian, jenis ice breaking harus dipilih agar tetap memberikan makna edikatif bagi anak. Berikut materi pelatihan ice breaking untuk para guru, paling tidak dapat dikelompokkan menjadi 8 jenis.
- Jenis yel-yel
- Jenis tepuk tangan
- Jenis menyanyi
- Jenis gerak dan lagu
- Jenis gerak anggota badan
- Jenis games
- Cerita/ dongeng-dongeng bijak
- Cerita-cerita lucu
Untuk mengenal lebih jauh tentang pelatihan energizer atau ice breaking ini pembaca dapat menghubungi penulis di sunartombs@gmail.com ataudapatkan bukunya di http://sunartombs.wordpress.com/2012/04/16/buku-icebreaker-dalam-pembelajaran-aktif/. Anda bisa juga memesan lewat sms di 081327030274
Label:
Artikel,
Berita,
Program Pelatihan,
Strategi Pembelajaran
Langganan:
Postingan (Atom)